Perubahan Sosial dan Analisis Konflik di Maluku Oleh Seala Syah Alam, SIK
Beritaterakurat.com, Jakarta – Masyarakat heterogen di negara berkembang seperti Indonesia, memiliki tingkat ancaman kriminalias yang beragam dalam lingkup lokal maupun nasional. Sumber ancaman secara alami muncul melalui perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Etnis (SARA) yang memicu gesekan antar kelompok dalam skala prioritas kepentingan yang berbeda-beda. Berbagai peristiwa bernuansa etnis, suku, dan agama telah menimbulkan korban jiwa, kerugian material, dan dampak buruk lainnya, antara lain konflik Maluku yang diketahui oleh masyarakat sebagai konflik beragama Islam dan Kristen. Sebelumnya, Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki institusi-institusi sosial yang memiliki toleransi agama. Masalah perbedaaan agama menjadi dominan dalam masyarakat setempat, sehingga tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kedua pihak (Islam dan Kristen) selalu berkisar pada soal agama yang sangat sensitif. Konflik agama di Maluku bukanlah murni muatan agama, melainkan upaya mengeksploitasi simbol-simbol agama untuk kepentingan-kepentingan politik oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini juga ada indikasi keterlibatan negara-negara Barat dalam konflik Maluku. Hal ini dapat terlihat dari adanya senjata canggih yang ditemukan di Maluku dan bahkan tidak dimiliki oleh TNI. Mengingat wilayah Maluku yang strategis, membuat Maluku diperebutkan sebagai wilayah yang tepat untuk menanamkan pengaruh.
Tak hanya itu, kepentingan agama dan berkeyakinan antara umat Islam dan Kristen dijadikan alat pemicu konflik yang sangat mudah digesekkan dalam masyarakat Maluku. Perbedaan yang sesungguhnya menjadi alat pemersatu berubah menjadi sesuatu yang sangat sensitif dan berujung pada bentrok fisik yang meluas ke daerah lain. Perbedaan yang sudah menjadi hal biasa dalam masyarakat kemudian berubah menjadi sebuah ancaman karena tidak difungsikan secara baik. Oleh karena itu, peran pengambil kebijakan dalam bidang keamanan nasional dan segenap kelengkapan aparatur negara dibawahnya harus proaktif dalam mengawasi perkembangan kelompok masyarakat yang disinyalir merupakan benih provokator pengacau ketertiban masyarakat.
Beberapa kebijakan keamanan nasional dalam penanganan konflik Maluku dinilai telah berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang sesungguhnya perlu dibenahi dalam hal peran dari aparat terkait, baik bidang Polhukam (TNI/Polri/BIN), Pemda, Depsos, dan departemen lain dalam menangani konflik Maluku sesuai tugas dan kapasitas masing-masing. Pembagian tugas yang kurang jelas juga dinilai sebagai pemicu ketidakefektifan penyelesaian konflik Maluku, sehingga akar masalah konflik belum semuanya dapat diatasi.
Hal tersebut ditengarai dapat memicu konflik serupa di masa datang, baik di Maluku sendiri maupun di wilayah lain. Dalam artian yang luas, distorsi fungsi negara (dalam hal ini aparat keamanan/ bidang Polhukan) mungkin saja sesuatu yang tidak disengaja karena faktor ketidakberdayaan rezim politik. Hal tersebut dimungkinkan mengandung unsur kesengajaan karena ketidakberanian rezim politik dalam mengambil risiko dan melakukan solusi taktis di lapangan dalam upaya mendamaikan pihak yang berkonflik. Ketika logika politik pencitraan ditempatkan sebagai segala-galanya mengalahkan daya kinerja yang seharusnya menjadi kewajiban negara, maka distorsi fungsi negara akan kian meluas.
Dalam kaitan ini, aparat keamanan pada waktu itu terkesan hanya sebagai “pemadam kebakaran” dan tidak terjun langsung sebagai mediator penyelesaian konflik, padahal peran mereka sangat dibutuhkan dalam situasi saat itu. Departemen lain seperti Pemda, Depsos, Depdagri dan instansi terkait juga cenderung mencari jalan sendiri, sehingga cara-cara penyelesaian waktu itu bisa menghambat upaya rekonsiliasi damai dan bahkan bisa melanggengkan konflik, meski semuanya berniat baik untuk segera mengakhiri konflik. Di sini bisa dilihat berbagai kepentingan dari pihak tertentu yang berupaya mencari keuntungan dari situasi tersebut.
Terlepas dari peran masing-masing instansi di atas, kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah setempat hendaknya berpegang dan mengacu kepada kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga implementasi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi konflik sudah mempunyai legal-aspect secara institusi, yang antara lain melakukan peningkatan koordinasi antar instansi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam penanggulangan konflik yang terjadi serta berusaha memberikan kewenangannya sesuai dengan kompetensi masing-masing untuk menanggulangi/ mengatasi konflik. Peran pemerintah pusat juga tergantung pada daerah, atau sesuai permintaan dan menimbang berbagai permasalahan yang dikeluhkan oleh daerah. Jika Pemda tidak menginginkan campur tangan pusat, otomatis bantuan dari pusat juga terbatas hanya pada rekomendasi yang bersifat strategis dan kadang tidak menyentuh pada tataran akar rumput. Di sinilah sebenarnya kekuatan dan soliditas warga yang berkonflik diuji oleh adanya rongrongan dari pihak luar yang notabene menginginkan konflik tanpa adanya upaya damai. Rakyat Maluku diharapkan segera menyadari bahwa selama pertikaian berlangsung, mereka telah dijadikan objek kerusuhan dalam sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan diri dan komunitasnya, dan dikemudian hari tidak ada lagi rakyat yang terjebak dalam politik ”remote control”, suatu praktek pengendalian konflik dari luar daerah konflik tersebut.
Di sisi lain, pemerintah mengklaim bahwa pemberlakuan keadaan darurat sipil di Provinsi Maluku melalui Keppres No. 88 bertanggal 27 Juni 2000 berhasil membuahkan situasi keamanan yang lebih kondusif. Selain itu terdapat dua produk hukum lainnya yang oleh pemerintah dinobatkan turut berandil dalam mempercepat pencapaian situasi keamanan yang lebih baik seperti sekarang ini. Yang pertama adalah Sk Gubernur Maluku Utara dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Daerah Darurat Sipil. SK tersebut menyatakan bahwa tujuan dari semua Satgas, atau Pokja, yang dibentuk di bawah Penguasa Daerah Darurat Sipil adalah menata kembali kehidupan sosial dan lingkungan sosial budaya dari masyarakat yang terkena dampak konflik. Yang kedua berkenaan dengan mempertahankan pasukan militer dan polisi yang besar di daerah itu. Pada bulan Januari 2001 terdapat lima batalion militer di Maluku Utara, empat dari luar dan satu organik, namun jika kompartementasi tidak diimplementasikan secara jelas, maka yang terjadi adalah pembagian tugas dari masing-masing instansi yang akan rancu dan bahkan tumpang tindih, sehingga menyebabkan ketidakefektifan upaya perdamaian. Platform Politik Nasional menjabarkan keseimbangan hubungan antar lembaga-lembaga negara dan seluruh komponen masyarakat. Mekanisme penyelesaian konflik yang damai dan berkeadilan perlu dilembagakan, termasuk dalam konflik Maluku yang melibatkan kelompok warga berbeda latar belakang agama Islam dan Kristen.
Lembaga-lembaga adat dan pranata tradisional lain berperan signifikan dalam meredam konflik. Fungsi utama mereka sebagai pengawal harmoni masyarakat perlu diaktualisasikan kembali.
Profesionalisme aparat pertahanan dan keamanan negara ditekankan dalam Platform Pertahanan dan Keamanan. Kepolisian RI sebagai aparat penegak hukum dan Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara, serta seluruh instansi terkait dan masyarakat harus menyelesaikan konflik dan gejala kekerasan tanpa menimbulkan konflik baru dan kekerasan yang berkelanjutan.
Konflik yang disebabkan oleh latar belakang agama yang berbeda akan menghasilkan setiap pribadi yang berbeda sesuai pendiriannya, dan pasti akan terpengaruh dengan pola pikir kelompok yang dianutnya. Pola pikir yang berbeda itulah yang seringkali menyebabkan konflik di Indonesia.
Penyelesaian konflik sosial di Maluku dan daerah-daerah lainnya tidak bisa dilakukan dengan menumpukkan harapan pada elite politik, tetapi harus ditumbuhkan dari masyarakat. Jadi masyarakat sendirilah yang secara sadar dapat berpartisipasi dalam mengatasi solusi konflik yang terjadi di Maluku. Peran pemerintah selaku pengambil kebijakan sangat dibutuhkan dalam membimbing dan mengatur kehidupan masyarakat yang tengah dilanda konflik. Dengan mengacu pada kebijakan keamanan nasional yang telah dijalankan dalam penanganan konflik Maluku selama sepuluh tahun terakhir, maka akan diketahui seberapa jauh efektivitas penanganan konflik. Efektivitas kebijakan keamanan nasional tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengoptimalkan fungsi dan peran para pengambil kebijakan dalam bidang keamanan nasional, khususnya TNI, Polri, dan BIN dalam mewujudkan program dan kebijakan keamanan nasional di masa mendatang agar dapat mencegah konflik serupa di seluruh wilayah Indonesia melalui analisis kemungkinan kerawanan konflik.
Konflik Maluku yang bisa disebut sebagai konflik horisontal, telah berlangsung selama kurang lebih 4 tahun (1999 sampai 2003). Dalam aspek waktu merupakan usia konflik yang relatif panjang jika dibandingkan dengan konflik sejenis di beberapa wilyayah di Indonesia. Selain itu, konflik Maluku juga tidak sekedar konflik agama, akan tetapi terdapat banyak penyebab, latar belakang serta kepentingan yang memicu dan menyulut pertumpahan darah di daerah tersebut. Untuk itu, kita sebagai warga negara yang mencintai perdamaian dan persatuan, hendaknya selalu waspada dengan pihak-pihak yang berusaha memancing konflik serupa seperti di Maluku ini.
Bangsa Indonesia telah memiliki pegangan dalam Penanganan Konflik Sosial sejak Presiden menandatangani Undang-Undang 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial pada 10 Mei 2012. Undang-undang ini memuat 62 pasal yang mengatur tentang penanganan konflik sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan. Yakni pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Dalam UU itu disebutkan pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini untuk mencegah konflik atau perluasan konflik di daerah yang sedang terjadi konflik melalui media komunikasi. Dalam hal konflik telah terjadi, penghentian bisa dilakukan dengan penggunaan tindakan kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik; tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.
Namun, undang-undang ini juga menegaskan, dalam hal dilakukan tindakan kekerasan fisik, harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri; melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; dan harus sesuai dengan ketentuan.()
I enjoyed the wit in this article! For more on this, visit: READ MORE. What do others think?